Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com
Diposting oleh BANGKIT 30 Juli 2009

Oleh: CB Gama

Keterbatasan Dalil dan Ketidakterbatasan Permasalahan

Diantara permasalahan yang dihadapi oleh para penyeru syari’ah adalah keterbatasan dalil dan ketidakterbatasan permasalahan. Ini karena masa turunnya wahyu telah berakhir empat belas abad yang lalu. Di sisi lain permasalahan manusia terus berkembang sampai akhir kehidupan dunia. Jika syari’ah dimaknai sebagai aturan Allah mengenai perbuatan manusia yang dipahami dari ‘dalil’, maka bagaimana ‘dalil’ yang terbatas tersebut bisa mengatur permasalahan perbuatan manusia yang tak terbatas? Bagi para turatsiyyun hal ini tidak menjadi masalah serius. Ini berangkat dari keyakinan bahwa Islam sejak empat belas abad yang lalu telah sempurna; mampu menjawab tantangan zaman. Dan secara metodologis, ushul fiqh diyakini mampu menjadi senjata andalan untuk menghadapi permasalan ini.


Inilah yang tidak bisa diterima oleh para modernis (‘ashraniyyun). Mereka menganggap bahwa ushul fiqh yang ditawarkan oleh para turatsiyyun sudah ketinggalan zaman. Hukum yang menjadi produk metodologi seperti itu dipandang tidak akan mampu menjawab tantangan zaman. Sebagian diantara mereka ada yang memandang bahwa kesempurnaan Islam yang dinyatakan oleh surat al-Maidah ayat 3 sebenarnya tidak berarti kesempurnaan aktual, melainkan kesempurnaan potensial. Maksudnya adalah bahwa Islam memang punya potensi untuk menjawab berbagai tantangan zaman. Namun Islam yang selesai turun empat belas abad yang lalu juga bukan barang jadi yang siap pakai secara instan. Perlu ada semacam suatu proses “penterjemahan”. Tapi jika ushul fiqh tradisional ditolak, maka metodologi seperti apakah yang menjadi alternatif untuk melakukan proses “penterjemahan” ini? Pembahasan masalah ini bisa jadi sangat panjang. Karena perbedaan antara turatsiyyun dan ‘ashraniyyun dalam hal ini cukup besar, dan terkait dengan permasalahan-permasalahan yang sangat mendasar, seperti kosep wahyu, al-Quran, as-Sunnah, dan sebagainya.

Jika kita kembali ke para turatsiyyun, ada beberapa catatan penting dari an-Nabhani terkait isu ini: Pertama, dalil yang otoritatif hanyalah dalil yang otoritasnya dapat dibuktikan kecara qath’i. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, yang memenuhi kriteria ini hanya al-Quran, as-Sunnah, ijmâ’ (konsensus) sahabat dan qiyâs. Dengan empat dalil ini saja berbagai permasalahan dalam lintas ruang dan waktu akan dapat dijawab dengan proses “penterjemahan” yang disebut ijtihâd. Berikutnya tinggal masalah kemampuan seorang mujtahid (pakar ijtihâd) dalam “menterjemahkan” jawaban yang ada di empat sumber tadi ke dalam kasus-kasus baru tersebut. Secara “potensial”—meminjam istilah Ulil Abshar, al-Quran, as-Sunnah, Ijma’ sahabat dan qiyas sudah mampu menjawab, tinggal bagaimana seorang mujtahid “mengaktualisasikannya”?

Kedua, hukum syari’ah yang ada dalam empat sumber di atas selalu relevan untuk kapan-dimana pun. An-Nabhani menolak kaidah “perubahan hukum karena perubahan waktu dan tempat” (taghayyur al-hukmi bi taghayyur al-makân wa az-zamân). Alasannya adalah karena menerima kaidah ini berarti memberikan kekuasaan kepada realitas untuk menghakimi ketetapan hukum syariah. “Bagaimana bisa perubahan ‘relitas’ yang ‘belum tentu benar’ merubah ‘hukum wahyu’ yang ‘pasti benar’?!” Seharusnya ketetapan hukum syari’ah lah yang mempunyai kedaulatan untuk menghukumi realitas; realitas lah yang seharusnya disesuaikan dengan ketetapan hukum syari’ah. Oleh karena itu an-Nabhani tidak bisa menerima seruan perubahan ketetapan kewajiban jihad, kesatuan umat dalam satu kepemimpinan (khilafah), hudûd, dan sebagainya karena alasan perubahan zaman. Baginya sejak dahulu hingga sekarang manusia sebagai makhluk yang memiliki kebutuhan jasmani, naluri seksual, naluri mempertahankan diri, dan naluri spiritual tidak berubah. Manusia yang hidup saat ini dan dimasa turunnya wahyu—dalam konteks ini, sama saja. Sedangkan seluruh persoalan manusia muncul dari adanya kebutuhan jasmani dan naluri tersebut. Jadi, pada dasarnya permasalahan yang dihadapi sama saja, maka solusi yang diperlukan juga sama saja. Bagi an-Nabhani, dalam kasus perubahan tempat dan waktu dan relevansinya dengan perubahan hukum, yang sebenarnya terjadi adalah terkait dengan ada-tidaknya ‘manâth al-hukmi’.

Kata “manâth”—sebagaimana dikatakan Ibn Manzhur, berasal dari akar kata “nâtha”-“yanûthu”-“nauthan”, yang berarti “’allaqa” (mengaitkan). Sibawaih juga berkata bahwa ketika orang Arab mengatakan “huwa minnî manâth ats-tsurayyâ”, kata “manâth” di situ memiliki konotasi “manzilah ” (tempat). Sedangkan dalam terminologi ushul fiqh ada tiga istilah terkait dengan manath: takhrîj al-manâth, tanqîh al-manâth, dan tahqîq al-manâth. Takhrîj al-manâth adalah penggalian ‘illat (sebab hukum) dari nash (al-Quran dan as-Sunnah) atau ijma’ (konsensus). Tanqîh al-manâth adalah penyeleksian relevan-tidaknya berbagai kemungkinan ‘illat. Dan tahqîq al-manâth adalah pengkajian suatu kasus dalam relevansinya dengan ‘illat yang sudah digali dari nash atau ijma’.

Jadi, dalam ushul fiqh, kajian tentang manath adalah kajian tentang ‘illat. Sekalipun—sebagaimana dikatakan oleh asy-Syinqithi, kadang-kadang istilah manath ini digunakan untuk permasalahan ‘ketetapan umum’ dalam nash (an-nash al-‘âm) dan kaitannya (tathbîq an-nash) dengan bentuk-bentuk rilnya dalam kasus. Sehingga, ‘manath’ hukum sebenarnya memiliki makna yang lebih umum, yaitu—sebutlah, ‘objek’ hukum; baik berupa ‘illat , ‘ketetapan umum’, ataupun yang lainnya. Yang terakhir inilah juga yang dimaksud manâth al-hukmi oleh an-Nabhani.

Jadi, ketetapan hukum bagi an-Nabhani adalah langgeng. Selama ‘manâth’-nya ada, dalam kasus apapun, kapanpun dan dimanapun, hukum tersebut harus berlaku.
Ketiga, masalah ‘maksud hukum’. Istilah yang lebih umum dan populer dalam kajian ‘maksud hukum’ adalah maqâshîd asy-syari’ah. Mungkin sebabnya adalah popularitas asy-Syathibi (w. 790 H.) dalam mematangkan konsep maqashid asy-syari’ah ini dalam magnum oppus-nya: al-Muwâfaqât fi Ushûl as-Syarî’ah.

Para pakar ushul fiqh mendefinisikan ‘maksud’ hukum syariah (maqashid asy-syari’ah) sebagai makna (al-mâ’ani), tujuan (al-ahdâf), dan rahasia (al-asrâr) yang ditetapkan oleh Syara’ dalam seluruh atau kebanyakan hukum-hukumnya. Menurut mereka, ‘maksud’ dari hukum syari’ah tersebut adalah untuk kemaslahatan kehidupan manusia di dunia dan di akhirat, dalam bentuk afirmasi kemaslahatan (jalb al-manfa’ah) atau negasi bahaya dan kerusakan (daf’u adh-dharar wa al-fasâd). Dan ‘maksud’ tersebut menurut mereka terdiri dari tiga kemaslahatan: dharûriyât, hâjiyyât, dan tahsîniyyât. Kemaslahatan dharûriyât adalah kemaslahatan pokok yang berkaitan dengan berlanjut-tidaknya kehidupan manusia, yang ketiadaannya akan menyebabakan menimbulkan kerusakan. Adh-Dharûriyât terdiri dari lima jenis: agama (din), akal (‘aql), nyawa (nafs), keturunan (nasl), dan harta (mal). Kemaslahatan hâjiyyât adalah kemaslahatan yang berkaitan dengan mempermudah (taisîr) dan menjauhkan kesulitan (raf’u al-haraj) dalam kehidupan. Dan kemaslahatan tahsîniyyât adalah kemaslahatan yang berkaitan dengan keindahan atau perbaikan, yang sekalipun ditinggalkan tidak akan berakibat pada rusaknya kehidupan.

Dalam diskursus hukum Islam kontemporer, bagi para modernis, maqashid syariah sering dimaknai sebagai substansi atau tujuan syariah, sedangkan hukum itu sendiri hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Artinya, dalam konteks hukum syari’ah, yang mengikat kita adalah maqashid-nya, bukan sarananya. Jadi, ketika ada sarana lain yang lebih baik dari hukum-hukum yang dikenal sebelumnya, maka yang baru ini bisa digunakan, dan yang lama ditinggalkan. Di sinilah kemudian kaidah “al-umûr bi maqâshîdihâ” (semua perkara tergantung tujuannya) sering dipasang. Namun apakah demikian yang dimaksud dengan maqashid syari’ah oleh para pakar ushul fiqh seperti asy-Syathibi dan yang lainnya?

Sebagaimana kita lihat sebelumnya, para ahli ushul fiqh mengartikan ‘maksud’ dalam hukum syari’ah dengan ‘makna’, ‘tujuan’, dan ‘rahasia’. Namun apakah kaitan antara ‘hukum yang ditetapkan’ dengan ‘makna’, ‘tujuan’, dan ‘rahasia’ tersebut ? Apakah yang mengikat kita hanya ‘makna’, ‘tujuan’, dan ‘rahasia’, dan bukan ‘hukum yang ditetapkan’, sehingga ‘hukum yang ditetapkan’ tersebut hanyalah sebuah ‘sarana’ yang bisa berubah mengikuti perubahan ruang dan waktu, sebagaimana dikatakan para modernis?

Dalam konteks inilah kita bisa memahami kritikan an-Nabhani terhadap konsep maqashid asy-syari’ah para ulama ushul fiqh. Menurutnya, para pakar ushul fiqh memfungsikan maqashid syari’ah sebagai ‘illat; yaitu ‘alasan’ ketetapan hukum. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, ‘illat adalah salah satu jenis ‘manath’ dalam arti yang luas. ‘Illat juga merupakan ‘manath’ itu sendiri dalam arti yang sempit. Fungsinya sebagaimana terumuskan dalam kaidah: al-hukmu yadûru ma’a ‘illatihi, wujûdan wa ‘adaman, hukum syariah berlaku berdasarkan ada-tidaknya ‘illat. Artinya, jika konsep maqashid sama denga ‘illat, berarti hukum syariah juga berlaku berdasarkan ada-tidak (realisasi) ‘maksud’ ketetapannya. Padahal, konsep maqashid sebagai kemaslahatan—dengan tiga tingkatannya, yang terwujud dalam realisasi manfaat dan atau menolak bahaya, yang memiliki fungsi yang sama dengan ‘illat, sama sekali tidak dapat dipahami dasarnya dari nash (al-Quran dan as-Sunnah).

Alasannya adalah: pertama, kalaulah memang ada nash yang mengatakan bahwa hukum syariah adalah rahmat, obat, kabar gembira, maka sebenarnya konteks pembicaraan nash tersebut adalah berkaitan dengan Islam kakull (secara keseluruhan). Sedangkan nash yang berbicara dalam konteks hukum syariah bi’ainihi (secara partikular) meyebutkan ‘maksud’ yang berbeda-beda. Contohnya adalah kewajiban haji untuk menyaksikan banyak manfaat bagi manusia, haramnya khamer dan judi untuk menghindari permusuhan, wajibnya puasa agar bertakwa, shalat untuk mencegah kemunkaran, dan lainnya.

Kedua, nash-nash tersebut tidak memiliki shîghat ta’lîl (bentuk yang menunjukan keberadaan ‘illat). ‘Maksud-maksud’ yang disebutkan oleh berbagai nash tersebut lebih tepat jika dimaknai sebagai hikmah (tujuan), dan bukan ‘illat (alasan). Hikmah tidaklah mengikat berlakunya hukum. Artinya, ketika hikmah belum bisa terealisasikan dalam pemberlakuan suatu hukum maka hukum tersebut tetap harus terus berlaku, tidak bisa dibatalkan. Bahkan, hikmah sama sekali tidak perlu diperhatikan dalam proses penggalian hukum dari dalil.

Ketiga, penyebutan maslahat sebagai ‘maksud hukum’ sebenarnya didasari oleh kesadaran keislaman. Di sini persoalannya adalah bagaimana dengan orang-orang yang memandang bahwa pengharaman riba bukanlah maslahat (seperti dalam masyarakat kapitalis)? Maksudnya, konsep maslahat dalam pandangan akal manusia sangat terkait dengan sistem tata nilai dan pandangan hidup yang ia anut. Di sini, kesadaran keislaman seseorang membuatnya yakin bahwa “di mana ada hukum syari’ah maka akan ada maslahat” (haitsumâ yakûnu asy-syar’u, takûnu al-mashlahah). Sedangkan kalau maslahat dijadikan sebagai ‘illat, maka dengan sendirinya prinsip tersebut menjadi gugur, dan berubah jadi “di mana ada maslahat berarti ada hukum syari’ah” (haitsumâ takûnu al-mashlahatu yakûnu asy-syar’u). Kalau demikian apalah gunanya aturan syari’ah?! Sebagai tambahan, dalam hal ini an-Nabhani juga menolak jika konsep maqashid asy-syari’ah sebagai ‘illat ini didasarkan pada ijma’ (konsensus).

Oleh karena itu, jika kita memfungsikan ‘maksud’ sama seperti ‘illat; berlakunya hukum tergantung dari wujud-tidaknya ‘maksud’, atau al-umur bi maqashidiha (setiap perkara tergantung dari ‘maksud’nya), maka konsep maqashid asy-syari’ah tidak bisa dimasukan dalam konsep ‘maksud’. Sehingga ketika shalat diwajibkan agar pelakunya tercegah dari kemunkaran, maka bukan berarti pencegahan kemunkaran adalah ‘maksud’ sedangkan shalat adalah ‘sarana’, yang berarti bisa diganti dengan sarana-sarana yang lainnya mengikuti perkembangan zaman. Atau misalkan hukum potong tangan dalam kasus pencurian, tidak bisa dikatakan bahwa ‘melindungi harta’ adalah ‘maksud’ larangan pencurian sehingga potong tangan hanyalah ‘sarana’ untuk mencegah pencurian yang bisa digantikan oleh sarana-sarana yang lainnya. Karena yang menjadi manâth adalah ‘shalat’ yang wajib dilakukan dan ‘pencurian’ yang telah diputuskan oleh Syara’ bahwa hukumannya adalah potong tangan. Yang disebut shalat dan pencurian dari dulu hingga sekarang sama saja. Sehingga ketetapan hukum syari’ahnya harus terus berlaku. Demikian seterusnya.

Jadi, yang menjadi kata kunci utama dalam permasalahan dalil dan perkembangan permasalahan ini adalah manath al-hukmi. Ketetapan hukum syari’ah yang berasal dari al-Quran, as-Sunnah, ijma’ sahabat, dan qiyas dalam setiap manath-nya bersifat universal: melampau ruang dan waktu, dan final: tidak berubah, karena masa turunnya wahyu sudah berakhir. Berikutnya, bagaimana pelaksanaan hukum syari’ah dalam setiap manath-nya bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman. Untuk yang terakhir ini an-Nabhani menyebutnya ‘teknik’ (uslûb) dan ‘sarana’ (wasîlah), yang dari sisi sumber bisa diambil dari mana saja; Barat ataupun Timur.

Syari’ah dan Problematika Kontemporer

Kembali ke masalah tawaran hukum syari’ah sebagai solusi. Di sini an-Nabhani menekankan revitalisasi ijtihad. An-Nabhani meyakini bahwa metode satu-satunya untuk merespon perkembangan realitas dari sudut pandang Islam adalah ijtihad. Tanpa adanya ijtihad umat akan terbawa arus deras perubahan realitas tanpa petunjuk kebenaran. Inilah yang pernah terjadi di masa lalu sejak deklarasi penutupan pintu ijtihad oleh al-Qaffal pada sekitar abad ke 4 Hijriah.

Dari sini maka wajar jika an-Nabhani berikutnya sangat menekankan pentingnya fiqh. Karena fiqh hakikatnya adalah kumpulan produk ijtihad: usaha serius dari manusia (mujtahid) dalam memahami hukum syariah dalam suatu kasus dari sumber hukum spesifik yang otoritatif (dalîl tafshîli). Di sisi lain, ‘kemurnian’ pemahaman terhadap hukum syariah ini meniscayakan adanya metode yang ketat. Karena itu an-Nabhani sangat menekankan pentingnya ushul fiqh. An-Nabhani mengkritik sebagian ulama yang menggiring diskursus ilmu kalam ke dalam ushul fiqh. Karena menurutnya hal ini hanya akan memandulkan ushul fiqh sebagai metodologi untuk memproduksi ijtihad-ijtihad segar. Padahal saat ini ijtihad-ijtihad segar ini sangat dibutuhkan umat, terutama pada sektor-sektor yang sedang terpasung oleh peradaban sekuler, seperti sektor ekonomi dan pemerintahan.

Untuk itulah an-Nabhani di awal dekade 1950-an menulis buku Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm (Sistem Pemerintahan dalam Islam) dan an-Nizhâm al-Iqtishâdi fi al-Islâm (Sistem Ekonomi Islam); dua tema yang sangat jarang, atau bahkan belum ditulis oleh ulama fiqh ketika itu. Dengan dua buku teresebut an-Nabhani mencoba menunjukan bagaimana sistem pemerintahan dan ekonomi dalam syari’ah Islam yang seharusnya diterapkan di dunia modern ini.

Syari’ah, Turâts, dan Islamisasi Ilmu

Apakah penerapan hukum syari’ah cukup untuk menyelesaikan permasalah kontemporer? Sebagaimana kata an-Nabhani, metode satu-satunya dalam Islam untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan baru adalah ijtihâd. Apakah permasalahan kontemporer sekedar permasalahan ijtihâd yang out put-nya terbatas pada aspek legalitas (hukum)? Tentu jawabannya tidak. Adanya ijtihâd lebih merupakan jaminan agar perkembangan kehidupan masyarakat tidak lepas dari bimbingan aturan wahyu. Cita-cita para turâtsiyyun sendiri lebih luas dari sekedar penerapan syari’ah. “Kemajuan Islam di masa lalu adalah model”, ini sikap mereka secara umum, “syariah hanya sebagainnya saja”. Yang benar-benar model dari masa lalu adalah masa Rasulullah, di samping dua generasi setelahnya. Itu pun bukan berarti untuk meraih kemajuan saat ini cukup meng-copy-paste tiga generasi tesebut ke zaman sekarang.

An-Nabhani sendiri memandang bahwa pada dasarnya kita tidak bisa menjadikan solusi-solusi masa lalu sebagai model untuk menyelesaikan permasalahan saat ini, karena masalah yang dihadapi berbeda. Yang menjadi keharusan adalah adanya kehidupan Islam, kehidupan yang diatur oleh aturan Islam. Untuk memahami aturan Islam inilah kita melihat masa lalu sebagai model. Itupun terbatas pada al-Quran dan as-Sunnah di masa Rasulullah, dan ijmâ’ di masa sahabat. Di luar kedua hal tersebut tidak ada yang mengikat kita dari masa lalu. Kita memang memiliki turâts, warisan masa lalu, yang kaya yang harus kita manfaatkan. Namun, sekali lagi, pada dasarnya hal itu tidak mengikat kita. Yang paling penting bagi kita adalah bagaimana kita berhadapan dengan tantangan zaman kita dan tetap in line dengan aturan Islam: syari’ah.

Demikian pula sebaliknya, bentuk kehidupan yang in line dengan syari’ah Islam saat ini harus dilengkapi kecanggihan ilmu pengetahuan (‘ilm), teknik (uslûb) dan sarana (wasîlah) yang paling mutakhir; kehidupan Islam yang benar-benar mencerminkan kehidupan Islam abad 21.

Jadi terkait masalah ini an-Nabhani memiliki konsep ‘ilm, uslûb, dan wasîlah: sesuatu yang bisa diambil dari manapun. An-Nabhani mamaknai ‘ilm sebagai pengetahuan yang tidak dipengaruhi pandangan hidup (wijhat an-nazhar fi al-hayâh) tertentu. Sedangkan pengetahuan yang dipengaruhi pandangan hidup tertentu ia sebut dengan tsaqôfah. Di sisi lain, sebenarnya an-Nabhani tidak mendefinisikan uslûb dan wasîlah secara khusus. Ia hanya menggunakan dua kata tersebut dalam makna bahasanya, yaitu ‘teknik’ dan ‘sarana’.

Prinsipnya adalah hidup sesuai dengan syariah, yang diwujudkan dengan uslûb dan wasîlah tertentu; yang dalam hal ini akal diberikan ruang oleh syariah untuk berkreasi dan berinovasi. Dan jika kita hubungkan dengan konsep ‘ilm, maka pengetahuan tentang uslûb dan wasîlah termasuk di dalamnya.

Dari sini kita bisa memahami mengapa—dalam kasus ekonomi, an-Nabhani membedakan antara ‘ilm al-iqtishâd (ilmu ekonomi) dengan an-nizhâm al-iqtishâdi (sistem ekonomi). Dasarnya adalah an-Nabhani memisahkan antara permasalahan produksi dengan distribusi. Baginya, permasalah pengadaan kekayaan (produksi) lebih terkait dengan pengolahan faktor-faktor produksi dan tidak dipengaruhi pandangan hidup tertentu. Sedangkan masalah pengaturan kekayaan yang sudah ada agar dapat dikonsumsi oleh masyarakat sangat terkait dengan pandangan hidup tertentu. Oleh karena itulah, an-Nabhani memasukan masalah produksi ke dalam ‘ilm, dan menyebutnya ‘ilm al-iqtishâd. Sedangkan masalah distribusi dimasukan ke dalam kategori tsaqôfah, dan ia sebut dengan an-nizhâm al-iqtishâdi. Konsekuensinya adalah berarti yang diatur oleh syari’ah adalah an-nizhâm al-iqtishâdi, sedangkan masalah ‘ilm al-iqtishad dijadikan “ruang kosong” yang harus diisi oleh akal manusia secara bebas nilai. Dan karena umat Islam masih tertinggal oleh bangsa yang lain, maka—agar survive di dunia modern ini, kita bisa memanfaatkan ‘ilm al-iqtishad yang dihasilkan oleh bangsa lain; baik Barat, China, Jepang, ataupun yang lainnya.

Muncul permasalahan: Ilmu ekonomi ekonomi yang ada saat ini tidak membedakan antara masalah nizhâm dan ‘ilm seperti dalam konsep an-Nabhani. Jadi bagaiman cara memisahkan yang ‘ilm dari yang nizhâm dari ilmu ekonomi modern? Atau dalam konteks yang lebih umum: dalam struktur ilmu pengetahuan modern tidak ada klasifikasi ‘ilm-tsaqôfah; jadi, bagaimana memilahnya?

Di sini ada yang menarik. Berbeda dengan an-Nabhani yang memandang adanya ilmu pengetahuan yang netral—yang ia sebut ‘ilm, bagi al-Attas tidak ada ilmu pengetahuan yang netral. Menurutnya, ilmu pengetahuan diresapi elemen-elemen pandangan hidup, agama, kebudayaan, dan peradaban seseorang. Ini karena, menurutnya, ilmu adalah sifat manusia. Segala sesuatu yang berada di luar akal pikiran bukan ilmu pengetahuan, melainkan fakta dan informasi yang kesemuanya merupakan objek ilmu pengetahuan. Berarti ilmu pengetahuan modern juga tidak bebas nilai. Ia dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia Barat. Oleh karena itu yang diperlukan dalam menghadapi ilmu pengetahuan modern adalah Islamisasi, yang melibatkan dua proses yang saling berhubungan: (1) pemisahan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci yang membentuk kebudayaan dan peradaban Barat; (2) pemasukan elemen-elemen dan konsep-konsep kunci Islam ke setiap cabang ilmu pengetahuan masa kini yang relevan. Proses Islamisasi ini penting. Karena jika tidak, akibatnya adalah seperti yang terjadi saat ini: sistem pendidikan yang mengajarkan ilmu pengetahuan modern melahirkan orang-orang yang mengalami kebingungan ilmu pengetahuan (confusion of knowledge), yang berikutnya memunculkan para pemimpin masyarakat yang tidak ber-adab yang merusak masyarakat. Permasalahan ini akhirnya menjadi lingkaran setan.

Tak jauh berbeda dengan al-Attas, dengan penekanan yang agak berbeda, al-Faruqi memandang pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan adalah karena metodologi ilmu pengetahuan yang ada saat ini, baik yang tradisional-Islam ataupun modern-sekular, tidak mencukupi untuk mendidik umat Islam saat ini. Sejalan dengan al-Faruqi, Louay Safi memandang bahwa sarjana muslim saat ini hanya memiliki dua set metodologi untuk memahami dan mengatur interaksi manusia. Yang pertama adalah metodologi yang berasal dari tradisi Barat. Sekalipun metodologi yang pertama ini sangat membantu dalam menganalisa interaksi sosial, tetapi bagi para sarjana muslim, ini masih menyisakan persoalan yang serius, yaitu bahwa metodologi yang satu ini menolak wahyu sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sedangakan metodologi yang kedua dikembangkan oleh para sarjana muslim klasik. Metodologi yang terakhir ini lebih banyak berkaitan dengan bagaimana memahami teks wahyu dan pelaksanaannya dalam aktivitas individu dan interaksi sosial. Demikian pula yang dikatakan oleh Thaha Jabir al-Alwani, adanya keterpisahan secara historis (historical split) antara “ilmu syari’ah” dengan “ilmu selain syari’ah” telah menyebabkan konsentrasi berlebih dan spesialisasi sempit terhadap ilmu yang pertama dan pengabaian ilmu yang kedua. Akhirnya, hal ini menjadikan umat Islam “bad imitators” Barat dalam ilmu yang kedua. Oleh karena itulah dibutuhkan adalnya sintesa kreatif—dalam istilah Ibrahim Ragab: creative engagement, antara dua tradisi ilmu tersebut.

Namun bagaimana sintesa kreatif ini dilakukan? Inilah yang menjadi lahan perbedaan dan perdebatan. Dalam hal ini ada dua mazhab utama: al-Faruqi dengan IIIT-nya (International Institute of Islamic Thought) dan al-Attas dengan ISTAC-nya (International Institute of Islamic Thought and Civilization). Pada tahun 1982, al-Faruqi merumuskan dua belas poin kerangka kerja dalam proses Islamisasi ilmu, yang bisa diidentifikasi ke dalam lima langkah: (1) penguasaan disiplin ilmu modern; (2) penguasaan hukum Islam (Islamic legacy): (3) membangun relevansi-relevansi spesifik antara Islam dengan setiap area yang ada pada ilmu pengetahuan modern; (4) merumuskan cara untuk mensintesakan aspek hukum Islam dengan ilmu pengetahuan modern; (5) diseminasi ilmu pengetahuan Islam. Berikutnya, kerangka kerja al-Faruqi ini mengalami berbagai kritik dan revisi.

Di sini kita tidak akan membicarakan lebih jauh diskursus seputar bagaimana Islamisasi ilmu pengetahuan ini dilakukan. Yang menjadi concern kita adalah bahwa—sebagaimana sudah kita lihat, menurut para pendukung Islamisasi ilmu pengetahuan, dalam menghadapi tantangan dunia saat ini, diperlukan penguasaan ilmu modern, bukan sekedar ilmu hukum Islam: fiqh, ushul fiqh, dan ilmu-ilmu terkait. Dan ketika berinteraksi dengan ilmu pengetahuan modern, diperlukan proses yang disebut Islamisasi. Islamisasi ilmu pengetahuan modern bukan sekedar proses evaluasi pada aspek legalitasnya dalam pandangan hukum syariah. Melainkan—sebagaimana dikatakan al-Attas, “menguji secara kritis metode-metode ilmu modern; konsep-konsep, teori-teori, dan simbol-simbolnya; aspek-aspek empiris dan rasional serta aspek-aspek yang bersinggungan dengan nilai dan etika; interpretasinya mengenai asal-usul; teorinya mengenai ilmu pengetahuan; pemikirannya mengenai eksistensi dunia nyata, keseragaman alam raya, dan rasionalitas proses-proses alam; teorinya mengenai alam semesta; klasifikasinya mengenai ilmu; batasan-batasan serta kaitannya antara satu ilmu dengan ilmu-ilmu yang lain serta hubungan sosialnya.” Karena, sekali lagi, ilmu pengetahuan tidak bebas nilai. Ia dipengaruhi pandangan hidup (worldview) tertentu.

Jika kita kembali ke an-Nabhani, permasalahnnya adalah konsep pemisahan ‘ilm dan tsaqofah dalam ilmu pengetahuan tidak ditemukan dalam struktur ilmu pengetahuan modern. Tentunya, ketika an-Nabhani memandang bahwa ‘ilm, sebagai ilmu pengetahuan yang tidak dipengaruhi pandangan hidup tertentu, sehingga bisa diambil dari manapun, maksudnya adalah bahwa kitalah yang harus mengklasifikasikan mana yang masuk kategori ‘ilm, dan mana yang bukan, dalam bangunan ilmu pengetahuan tersebut. Jadi, dalam interaksi dengan ilmu pengetahuan modern—yang tidak terklasifikasi dalam ‘ilm dan tsaqofah, harus melalui proses klasifikasi tersebut. Dan tentu, klasifikasinya didasarkan pada sudut pandang hidup Islam: yang sesuai diterima, dan yang tidak sesuai ditolak. Jadi, klasifikasi ini sendiri dipengaruhi pandangan hidup tertentu. Tampaknya, inilah yang juga dimaksud oleh orang seperti al-Attas, bahwa semua pengetahuan itu dipengaruhi pandangan hidup tertentu.

Namun di sisi lain, mendukung proses Islamisasi ilmu pengetahuan modern sendiri tentu berarti didasari oleh asumsi bahwa ada yang bisa diambil dari ilmu pengetahuan modern. Aspek-aspek yang bisa diambil inilah yang disebut an-Nabhani ‘ilm, “tidak dipengaruhi pandangan hidup”; mungkin lebih tepatnya: “diterima oleh pandangan hidup Islam”. Di sinilah perbedaan sekaligus irisannya.

Kembali ke contoh kasus ekonomi, menurut an-Nabhani yang diperlukan adalah pemisahan antara ‘ilm al-iqtishad (ilmu ekonomi) dengan an-nizham al-iqtishadi (sistem ekonomi), dimana yang pertama adalah “ajaran bebas pandangan hidup” dan yang kedua “ajaran yang dibangun oleh pandangan hidup”. Sehingga bangunan disiplin ilmunya adalah “sistem ekonomi Islam” vs “sistem ekonomi Kapitalis” vs “sistem Sosialis” yang mengatur distribusi, di sisi lain permasalahan produksi diserahkan ke “ilmu ekonomi”.

Sedangkan orang-orang yang terlibat dalam Islamisasi ilmu ekonomi cenderung untuk tidak memisahkan antara produksi dan distribusi, ilmu ekonomi dan sistem ekonomi. Seperti dinyatakan Khursid Ahmad ekonomi Islam adalah “ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari permasalahan ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan permasalahan tersebut dari sudut pandang Islam.” Dan permasalahan produksi, distribusi, ataupun konsumsi adalah permasalahan-permasalahan ekonomi yang harus dibahas dari sudut pandang Islam. Hasil pembahasan inilah yang berikutnya membentuk ilmu ekonomi Islam, termasuk di dalamnya pembahasan sistem ekonomi. Dan proses Islamisasi ilmu ekonomi tentu melibatkan interaksi dengan dan adopsi sebagian dari ilmu ekonomi konvensional, alasanya: “ada aspek dalam ekonomi konvensional yang ‘tidak bertentangan’ dengan Islam”, dan “banyak yang ‘bisa dimanfaatkan’ dari kemajuan ekonomi konvensional, terutama yang dibangun sekitar lima puluh tahun terakhir”.

Penutup

Adanya interaksi antara dua tradisi keilmuan: Islam dan Barat, sudah terjadi dan tidak dapat dihindari di “dunia tanpa sekat” ini. Tapi, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, adanya bahaya dalam ilmu pengetahuan modern dan tidak mencukupinya metodologi ilmu pengetahuan yang ada dalam turâts Islam adalah alasan utama pentingnya perumusan metode interaksi antara dua tradisi ilmu ini.

Memang—menurut Mohammed Aslam Haneef, sampai saat ini Islamisasi ilmu masih ada pada tahap pra-metodologi; hal yang sama yang diucapkan oleh Loay Safi pada tahun 1993. Jadi tampaknya ini bukan perkara yang mudah. Sampai-sampai Abdul Hamid Abu Sulaiman, mantan rektor International Islamic University Malaysia (IIUM)—institusi yang mempromosikan “integrasi dan Islamisasi”, pernah berkata bahwa proses Islamisasi ibarat “moving towards a moving target”, bergerak ke arah tujuan yang bergerak. Masih banyak kendala yang dihadapi. Diantaranya adalah sistem pendidikan saat ini yang masih dikotomis, yang melahirkan dua tipe sarjana: Western dan religious educated, yang cakap di salah satunya berarti tidak cakap di yang lainya.

Koordinasi yang terencana, untuk sementara, masih bisa menjembatani masalah ini. Namun tatanan kehidupan Islam ke depan sangat memerlukan figur-figur yang tidak sekedar menguasai turâts Islam, tapi juga cakap dalam berhadapan dengan permasalahan-permasalahan kontemporer. Di sisi lain, peran negara—seperti yang sangat ditekankan orang-orang seperti an-Nabhani, untuk mengatur masyarakatnya dengan sistem syari’ah secara benar, jelas sangat penting. Hanya dengan peran negara lah kehidupan Islam yang ril bisa diwujudkan. Dengan peran negara pula proses Islamisasi bisa maksimal dilakukan. Benarlah apa kata al-Ghazali: “ad-dînu ussun wa as-sulthânu hârisun, wa mâ lâ ussa lah famahdûmun, wa mâ lâ hârisa lah fadhâ’iun” , agama adalah pondasi dan kekuasan adalah tiang penjaga. Sesuatu yang tak berpondasi akan runtuh. Dan sesuatu yang tak bertiang penjaga akan lenyap.

|