Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com
Diposting oleh BANGKIT 30 Juli 2009

Oleh C.B. Gama


Kehidupan manusia terus mengalami perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Namun manusia sendiri berbeda pendapat tentang “apa sebenarnya” yang telah dan sedang berubah pada kehidupan mereka. Mereka juga akan lebih berbeda pendapat tentang “apa yang seharusnya” terjadi dalam perubahan, perkembangan, dan kemajuan tersebut. Untuk yang terakhir ini, permasalahannya akan sangat ditentukan oleh cara pandang tentang realitas (worldview), yang menjadi inti dari setiap peradaban.


Filsafat modern dan sains secara salah telah menganggap perubahan sebagai realitas mutlak, yang akhirnya melahirkan sebuah prinsip: “Segala sesuatu itu berubah kecuali perubahan itu sendiri”. Prinsip ini adalah salah satu karakter utama peradaban Barat dalam mengafirmasi relativitas realitas yang memberinya alasan kuat untuk menyandarkan tatanan nilainya pada dasar-dasar yang sekuler, material, dan inderawi. Inilah sebabnya, peradaban Barat—menurut Naquib al-Attas, “Selalu berubah dan ‘menjadi’ (becoming) sesuatu yang tidak pernah ‘ada’ (being) kecuali bahwa ‘adanya’ itu akan selalu menjadi sesuatu yang ‘menjadi’ (becoming).”

Sedangkan dalam Islam, perubahan, perkembangan, dan kemajuan lebih dimaknai sebagai suatu gerakan sadar dan disengaja menuju Islam yang murni (genuin). Islam mengakui adanya perubahan. Namun Islam tidak memandang setiap perubahan sebagai perkembangan ataupun kemajuan. Kemajuan juga tidak bisa diartikan sebagai terus-menerus ‘menjadi’ tanpa pernah ‘jadi’ karena memang sejak awal tidak ada tujuan akhir. Kemajuan lebih dimaknai sebagai bergerak secara pasti menuju tujuan akhir yang telah final dalam kehidupan ini. Jika tujuan akhir ini masih kabur, maka tidak akan ada kemajuan. Disinilah konsep tajdîd dalam Islam sebenarnya lebih tepat diartikan sebagai pemurnian (refinement): kembali ke ajaran asal.

Namun demikian, keharusan untuk tetap eksis dalam perubahan dengan tetap mempertahankan kemurnian inilah yang menjadi salah satu tantangan terbesar kehidupan umat Islam. Seperti apakah Islam yang murni? Apakah elemen dari ‘ajaran Islam’ yang sudah final dan mana yang berubah? Bagaimana merespon berbagai perubahan yang terjadi? adalah pertanyaan-pertanyaan yang selalu harus dijawab oleh umat. Terma-terma seperti ijtihad, salafi, Islamisasi, dan—dalam batas tertentu, kontekstualisasi tampaknya bisa dipandang sebagai wujud adanya usaha ini.

Al-Ashâlah wa al-Mu’âsharah

Masalah mempertahankan kemurnian (ashâlah) dan eksistensi dalam kemodernan (mu’âsharah) inilah sebenarnya yang menjadi terma kunci dalam wacana Islam kontemporer. Tema ini adalah tema yang sudah sejak lama diperbincangkan oleh umat Islam. Khususnya sejak mereka mengalami kemunduran yang luar biasa, ketika Barat—khususnya Eropa, mengalami kemajuan. Keberhasilan Napoleon Bonaparte dalam menginvasi Mesir tahun 1789 membuat kaum muslimin ketika itu tersentak. Mereka bertanya-tanya: Kenapa kita bisa kalah oleh Barat? Bisakah kita menjadi seperti Barat dengan segala kesuksesannya? Apakah prinsip-prinsip seperti demokrasi, sains, sekularisme, dan lain-lain bisa sejalan dengan perinsip-prinsip ajaran Islam? Bagaimanakah Islam bisa diterjemahkan dalam konteks budaya Barat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akhirnya melahirkan gerakan tajdîd (pembaharuan) atau ishlâh (reformasi). Gerakan ini bermula di Syiria dan berkembang di Mesir, dan seterusnya menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Berdirinya negara Israel pada tahun 1948 dan kekalahan negara-negara Arab dalam Perang Enam Hari melawan negara Yahudi tersebut, untuk kesekian kalinya, mengagetkan umat Islam, khususnya bangsa Arab. Pertanyaan yang diajukan pada abad ke 18 dan 19 kembali muncul dalam benak mereka. Mengapa bangsa Arab muslim kalah, terbelakang, tidak berdaya, tidak mampu berhadapan dengan Israel? Bagaimana untuk membangun kembali peradaban Arab; apakah dengan merestorasi tradisi atau kembali ke Islam atau mengikuti Barat? Apakah Islam kompatibel dengan konsep kemajuan, pembangunan, dan modernitas? Apakah Islam dapat diterapkan dalam konteks kekinian?

Kata Boullata, peristiwa memalukan ini memberikan “food of thought” bagi para intelek tual Arab, dan bahkan telah menimbulkan gelombang self-criticism dan introspeksi yang belum pernah ada bandingannya dalam sejarah. Proses interpretasi terhadap kekalahan pun dimulai. Berbagai interpretasi diberikan dari yang bersifat historisitas budaya (ats-tsaqâfiyyah at-târîkhiyyah), nilai moralitas (al-akhlâqiyyah al-qiyamiyyah), sosial-politis, sampai yang bersifat epistemologis. Ada yang menafsirkan peristiwa ini sebagai akibat dari hilangnya kesadaran historisitas masyarakat Arab, keterbelakangan, sikap salafiyyah, bermental abad pertengahan, bersikap jumud, malas, tawakkal, fanatik, sektarian, dan sikap-sikap lain yang dianggap menghalangi kemajuan. Tak kurang ada juga yang menafsirkannya sebagai akibat dari struktur masyarakat Arab itu sendiri yang bersifat patriarki; sebuah sistem kemasyarakatan yang bersifat otoriter yang hanya tahu bahasa kekuasaan dan tidak memberi ruang pada kebebasan berekspresi.

Apa yang menarik dari periode ini, menurut Ibrahim Abu Rabi’, bukanlah pada meningkatnya jargon-jargon atau simbol-simbol islam, bukan juga pada keberhasilan kelompok-kelompok Islam untuk menguasai tampuk pemerintahan, tetapi keberhasilan gerakan-gerakan Islam menempatkan tradisi Islam (turâts Islâmi) kembali dalam wacana pemikiran Arab kontemporer, yang akhirnya mendorong kelompok sekularis masuk ke dalam ‘battle field’ yang bernama turâts. Banyak pemikir Arab sejak saat itu mulai sadar bahwa mereka tidak bisa begitu saja mengabaikan kultur Arab dan tradisi Islam dalam proses modernisasi. Mereka harus kembali kepada turâts untuk menepik tuduhan bahwa ide-ide mereka tidak orisinal dan otentik dan bahwa mereka adalah perpanjangan tangan dari kekuatan asing dan fasilitator penetrasi budaya Barat—yang jika berhasil, akan meruntuhkan pertahanan terakhir umat Islam dalam mempertahankan diri dari dominasi asing.

Pada dekade 1970-an dan 1980-an mulailah kita menyaksikan kemunculan kajian-kajian mengenai turâts dan hubungannya dengan realitas sosial, politik, dan ekonomi masyarakat Arab. Hasan Hanafi tampil dengan proyek at-Turâts wa at-Tajdîd. Tayyib Tizini, pemikir asli Syiria yang beraliran Marxis, juga hadir dengan proyek Masyrû’ Ru’ya Jadîdah li al-Fikr al-‘Arabi min al-‘Ashr al-Jâhili hattâ al-Marhalah al-Mu’âshirah. Ada juga Muhammad Arkoun dengan Naqd al-‘Aql al-Islâmi, Muhammad ‘Abid al-Jabiri dengan Naqd al-‘Aql al-‘Arabi. Ada juga Fazlur Rahman, Nash Hamid Abu Zaid, Abdullah Laroi, Hussain Muruwah, Muhammad Imarah, dan lain-lain.
Demikianlah isu al-ashâlah wa al-mu’âsharah bergulir dari Eropa ke Amerika, dari Maroko ke Indonesia; ia menampilkan dirinya—kata al-Jabiri, di pentas pemikiran Arab modern dan kontemporer sebagai isu utama dalam bentuknya yang problematik. Dan hingga sekarang, isu yang sama masih diulang-ulang bahkan jadi fokus perdebatan.

Sikap Terhadap Turâts

Secara umum ada tiga sikap dalam menghadapi turâts: Pertama, du’ât at-turâts atau turâtsiyyun, adalah kelompok yang menyeru kembali ke masa silam yang dianggap sebagai masa kejayaan Islam. Bagi mereka kemelut sosisal, politik, ekonomi, dan budaya yang menimpa umat Islam hanya dapat diselesaikan dengan kembali ke turâts. Kalau dulu Islam berhasil menghasilkan kejayaan, maka hari ini pun hal yang sama bisa dilakukan. Masa silam dengan demikian adalah model peradaban yang harus diemulasi generasi sekarang. Mereka juga getol menyerukan penerapan syari’ah dalam masyarakat.

Kedua, liberal, yang merupakan antitesis yang pertama. Tipologi kedua ini terlalu silau dengan kemajuan peradaban Barat. Dalam pandangan kelompok ini, jalan satu-satunya untuk maju adalah mengikuti jejak Barat dalam segala hal, terutama dalam bidang sains dan teknologi. Barat adalah model peradaban masa kini. Kelompok ini sering juga disebut modernis (‘ashrâniyyun).

Ketiga, eklektik, yaitu kelompok yang berusaha untuk mensintesakan kelompok yang pertama dan kedua. Kelompok ini mencoba untuk berdiri di bumi turâts dan dunia modern sekaligus. Barat bukan model segala-galannya, demikian pula masa lalu. Keduanya memiliki sisi buruk dan baik. Kelompok ini cenderung bersikap selektif ketika berhadapan dengan dua tradisi ini. Mereka akan mengambil apa saja yang dianggap bermanfaat dari dua tradisi tersebut.

Tiga tipologi umum tersebut sebenarnya tidak sepenuhnya secara tepat menunjukan berbagai sikap terhadap turâts. Sejumlah pemikir Arab kontemporer, seperti Arkoun, Jabiri, Nashr Hamid, dan yang lainnya tidak menyebut dirinya sebagai liberal, serta menolak ketiga sikap dan corak pembacaan turats tersebut. Tapi dalam banyak hal, mereka jelas termasuk ke dalam pemikir liberal. Di sisi lain, turâtsiyyun yang disebut sebagai penyeru ke masa lalu, penerapan syari’ah, atau menjadikan masa lalu sebagai model untuk menyelesaikan permasalahan masa kini sebenarnya juga tidak menutup mata terhadap kemajuan Barat masa kini. Jadi ada spektrum kadar dalam masing-masing tipologi.

An-Nabhani dan Melanjutkan Kehidupan Islam

Berbicara tentang turâtsiyyun yang diidentikan dengan kembali ke syari’ah dan kejayaan masa lalu, kita bisa melirik sejenak ke arah seorang pemikir yang sering terlupakan: Taqiyuddin an-Nabhani. Ulama lulusan al-Azhar ini memilik ide yang cukup khas yang sampai saat ini terus diserukan oleh para aktivis partai yang didirikannya: Hizbut Tahrir, di lebih dari empat puluh negara di dunia. Diantara kekhasannya adalah idenya yang “non-kompromi” tentang keharusan adanya khilafah Islam sebagai metode satu-satunya untuk melanjutkan kehidupan Islam (isti’nâf al-hayâh al-islâmiyyah) secara sempurna. Bagi an-Nabhani, permasalahan utama kemunduran umat adalah ditinggalkanya sistem Islam (an-nizhâm al-islâmi) dalam pengaturan kehidupan oleh negara. Jadi, permasalah politik adalah yang paling utama. Oleh karena itulah an-Nabhani mencurahkan sisa hidupnya sejak tahun 1948 untuk merintis, mengembangkan, dan beraktivitas bersama Hizbut Tahrir, dalam melakukan penyadaran dan pembinaan di tengah masyarakat, juga berusaha meraih dukungan mereka untuk meraih kekuasaan dan kembali mendirikan khilafah Islam.
Namun sebenarnya politik bukanlah tujuan. Yang menjadi tujuan adalah berjalannya kehidupan Islam; kehidupan yang diatur sesuai dengan ‘kehendak Allah’, ‘sistem Allah’, ‘hukum Allah’. ‘Hukum Allah’ inilah yang disebut dengan syari’ah yang diyakini mampu memberikan solusi terbaik bagi barbagai permasalahan dalam kehidupan manusia, bukan sekedar umat Islam, melainkan seluruh umat manusia. Negara khilafah sebagai institusi politik bertugas menerapkan sistem syari’ah ini dan menjaga pelaksanaannya agar tidak menyimpang.

Bagaimana ‘Hukum Allah’ Dipahami?

Ada beberapa catatan penting di sini: Pertama, tidak ada dikotomi fiqh vs syari’ah. Para modernis (‘ashraniyyun) biasanya memandang bahwa seruan penerapan ‘hukum Allah’ kurang masuk akal. Penyebabnya adalah karena bagi mereka apa yang disebut ‘hukum Allah’ oleh para turâtsiyyun sebenarnya bukan pure ‘hukum yang berasal dari Allah’, melainkan produk akal (pemahaman) manusia, yang disebut fiqh. Suatu bentuk pemahaman (Arab: fiqh) terhadap ‘hukum Allah’ tidak bisa dianggap merepresentasikan apa yang sebenarnya menjadi ‘kehendak Allah’ dalam hukum tersebut. Sehingga, ia sejatinya adalah produk akal yang tidak berbeda dengan produk-produk akal yang lainnya.

Sedangkan bagi an-Nabhani—sejalan dengan pandangan para ulama ushul fiqh tradisional, ‘hukum syari’ah’ atau ‘hukum Allah’ dimaknai sebagai khithâb asy-syâri’ al-muta’alliq bi af’âl al-‘ibâd, tuntutan syara’ (Allah dan Rasul-Nya) yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Tuntutan (khithâb) syara’ bisa dipahami dari sumber-sumber yang ditentukan oleh syara’ sendiri, atas dasar bukti yang pasti (qath’i). Yang memenuhi kriteria ini adalah al-Quran, as-Sunnah, dan yang ditujukan oleh kedua sumber ini secara pasti: ijmâ’ (konsensus) sahabat dan qiyâs (analogi) syar’i.

An-Nabhani juga memandang bahwa akal merupakan manâth at-taklîf, sandaran pembebanan hukum. Maksudnya, ketika manusia diperintahkan untuk tunduk pada ‘hukum Allah’, bukan berarti mereka diperintahkan untuk tunduk pada ‘apa yang sebenarnya yang dikehendaki Allah’ dalam arti sesuatu yang diluar jangkauan kemampuan manusia. Manusia cukup mengikuti apa yang dipahami akalnya sebagai ‘hukum Allah’. Dalam hal ini an-Nabhani mengakui bahwa pada akhirnya, dilihat dari sisi tingkat kepastian akurasi, pemahaman manusia terhadap ‘hukum Allah’ dibagi dua: pasti (qath’i) dan dugaan (zhanni).

Pemahaman bersifat pasti benar (qath’i) jika didasarkan pada sumber yang pasti benar dan konotasi (dalalâh) yang menurut kaidah linguistik bersifat pasti. Dan jika tidak memenuhi kriteria ini, berarti pemahaman tersebut hanya bersifat dugaan (zhanni): memiliki peluang salah. Sekalipun demikian, manusia tetap boleh mengikuti pemahaman yang zhanni tersebut; semuanya tetap layak disebut syari’ah.

Kedua, oleh karena itu, berikutnya yang menjadi persoalan bukanlah bahwa ‘hukum syari’ah’ yang merupakan fiqh (pemahaman) adalah ‘produk akal’ atau bukan, melainkan bagaimana akal mampu membuktikan bahwa suatu kesimpulan yang dihasilkannya benar-benar sesuai dengan ‘kehendak Allah’. Untuk itulah an-Nabhani sangat menekankan pentingnya otoritas. Orang yang memiliki otoritas dalam penggalian hukum syari’ah disebut mujtahid. Untuk menjadi seorang mujtahid syaratnya adalah menguasai dalil (sumber hukum) dan bahasa Arab. Bagi orang-orang yang tidak memiliki kecakapan tersebut diharuskan mengikuti mujtahid yang ia percayai. An-Nabhani juga menekankan pentingnya penunjukan wajh al-istidlâl (runtutan penalaran) dalam setiap kesimpulan. Sehingga setiap klaim ‘hukum Allah’ bisa dikonfirmasi.