Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com
Diposting oleh BANGKIT 14 Juli 2009

Oleh: Ahmad Jaelani

Berfikir merupakan hal yang biasa manusia lakukan setiap waktu. Mungkinkah ada manusia yang tidak berfikir? Kayaknya sukar kita menjawab pertanyaan ini, karena manusia sudah kadung memiliki julukan sebagai hewan yang berfikir “al insan al hayawan al nathiq” begitu menurut para ahli ilmu mantiq. Kalau pun ada yang tidak mampu berfikir mungkin manusia yang ‘maaf’ sedikit terganggu akalnya.

Walaupun setiap manusia normal berfikir setiap waktu, namun derajat pemikiran diantara manusia berbeda-beda. Ada yang melakukan pemikiran dangkal (fikr al sathi), berfikir mendalam (fikr al ‘amiq) dan ada juga yang berfikir cemerlang (fikr al mustanir). Berpikir dangkal merupakan pemikiran kebanyakan manusia, berpikir mendalam merupakan pemikiran para intelektual sedangkan berpikir cemerlang merupakan pemikiran para pemimpin dan orang-orang yang berpikir cemerlang dari kalangan para ulama dan umumnya manusia yang terbina. Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab al Tafkir menyimpulkan bahwa berfikir secara cemerlang merupakan pemikiran yang paling tinggi derajatnya (An Nabhani, 2003; hal. 121-130).

Salah satu kata yang biasa kita dengar dan masih berkaitan dengan berfikir adalah tafakkur. Kata tafakkur secara bahasa mengandung makna sama dengan kata tafkir yaitu pemikiran (Al-‘Ashry, 1996; hal. 534). Pemikiran (fikr), kesadaran (al-idrak) adalah pemindahan penginderaan terhadap fakta melalui panca indera ke dalam otak yang disertai dengan adanya informasi-informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut. (An Nabhani, 2003; hal. 25). Sedangkan secara istilah, tafakkur mempunyai makna khusus, yaitu merenungkan tanda-tanda kebesaran Allah SWT. (Al Haddad, 1996; hal. 118). Tujuan dari tafakkur adalah mengenal Zat Pencipta manusia, alam dan kehidupan ini lalu kemudian meyakini akan adanya Pencipta, serta bagi yang sudah meyakini-Nya agar memperkokoh keimanan kepada-Nya.

Siapa Kita?: Sebuah proses mentafakkuri diri.
Pernahkah Anda berfikir tentang diri Anda sendiri? Siapakah Anda? Darimana Anda? Apa tujuan hidup Anda? Dan akan kemana Anda? Secara singkat, mudah saja kita menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, bahwa kita adalah manusia, kita diciptakan oleh Allah, beribadah tujuan hidup kita, mati! akhir dari hidup kita. Namun pembuktian dan hakekat jawaban itulah yang kadang belum kita temukan solusinya. Maka wajar, walaupun sudah ditemukan jawabannya akan tetapi tetap terasa hambar dan tidak menjadi penuntun dalam kehidupan ini.

Dari mana kita?
Anda, Saya dan Kita adalah manusia. Manusia adalah makhluk yang serba lemah, terbatas, selalu butuh pertolongan dan bantuan. Coba saja Anda buktikan dengan tidak makan dan minum selama seminggu, Anda mungkin lemas tak bisa berjalan lagi, Anda akan butuh bantuan orang lain untuk menolong diri Anda sendiri, bahkan bisa jadi Anda tidak akan menghirup udara yang segar lagi karena nafas Anda sudah berhenti. Inilah fakta kita sebagai manusia, bahwa manusia sangat terbatas dan butuh kepada sesuatu yang tidak terbatas. Asal-usul kita pun kalau kita telusuri akan ada batasnya, bahwa kita dari kedua orang tua kita, kedua orang tua kita dari kakek dan nenek kita, kakek dan nenek kita dari kedua orang tua kakek dan nenek kita, dan seterusnya hingga sampai kepada Adam dan Hawa, Hawa dari tulang rusuk Adam, Adam dari tanah, tanah dari alam, alam dari atom, atom dari tidak ada menjadi ada. Lalu siapa yang mengadakan? Pasti ada yang menciptakan, Dialah Al Khaliq yang kita kenal dengan Allah Rabbu al ‘Izzati. Jadi manusia berasal dari (diciptakan oleh) Allah SWT.

Apa tujuan hidup kita?
Setelah kita faham bahwa kita diciptakan oleh Allah, dan tentu saja Dia menciptakan sesuatu disertai dengan aturannya. Maka untuk mengetahui tujuan diadakannya manusia adalah dengan bertanya kepada-Nya. Wa mâ khalaqtu al jinna wa al insa illa li ya’budûn. Begitulah jawaban Allah dalam surat al Dzariat ayat 56, bahwa tujuan hidup kita adalah beribadah. Beribadah dalam artian taat sepenuhnya kepada Allah SWT dalam segala bidang. Kata tha’at sendiri sebenarnya mengandung pengertian taqwa, yaitu menjalankan seluruh perintah Allah dan meninggalkan seluruh larangan-Nya. Jadi antara pertanyaan ”dari mana kita?” dengan pertanyaan ”untuk apa kita hidup?” terdapat hubungan penciptaan dan ketaatan kepada Sang Pencipta. Kita hidup di dunia berarti bertujuan untuk taat kepada-Nya dalam setiap saat, setiap keadaan, dan segala aspek. Dengan demikian seorang yang shalat, seorang yang puasa, seorang yang berzakat seorang yang berhaji juga harus menjadi seorang yang berekonomi dengan Islam, bersosial dengan Islam, berpolitik dengan Islam, berpemerintahan dengan Islam, berpendidikan dengan Islam dan segala aspek harus dengan Islam. Kenapa ini harus dilakukan? Tiada lain karena ketaatan (ibadah) kita kepada Allah SWT. sebagai Pencipta.

Mau kemana kita?
Setiap manusia pasti akan mati dan meninggalkan kehidupan, ini merupakan suatu hal yang lumrah atau dalam bahasa lain dikenal dengan sunnatullah. Tidak ada manusia yang kekal. Al Qur'an pun menjelaskannya:
"dan tiap-tiap umat ada ajalnya, apabila telah datang ajal kepada mereka tidak ada yang bisa mengakhirkan dan tidak ada pula yang bisa memajukannya walau sesaat"(TQS. Al 'Araf (7):34).

Permasalahannya akan kemana kita setelah mati? Dalam Islam terdapat hubungan antara kematian dan kehidupan setelah kematian. Hubungan tersebut adalah hubungan kebangkitan dan penghitungan. Manusia yang telah mati akan dibangkitkan kembali dalam rangka mempertanggungjawabkan 'amalan ketika hidup di dunia. 'Amalan manusia akan dihisab sesuai dengan seberapa besar ketaatan manusia terhadap perintah dan larangan Allah AWT (syari'at) ketika merasakan hangatnya dunia. Jadi untuk menjawab akan kemana kita setelah mati adalah kita akan dibangkitkan kembali untuk menjalani proses penghisaban diri. "barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah maka akan ada balasannya, dan barangsiapa mengerjakan keburukan sebesar zarrah maka akan ada balasannya" (TQS. Al Jaljalah (99):7-8).

Sebagai kesimpulan, setelah kita memahami secara mendalam tentang permasalahan mendasar di atas, maka seyogyanya kita akan selalu merasa rendah dan tunduk di hadapan Allah SWT. Kemudian implementasi ketundukan kita adalah dengan menjadikan aturan-Nya sebagai standar kehidupan kita semua, baik dan buruk menurut Allah SWT. Kemudian harus ada selalu perasaan takut (khauf) ketika syariat-Nya tidak kita terapkan semuanya dan harapan (raja') akan rahmat-Nya dalam kehidupan dan setelah kehidupan.
Wallahu 'alam bi al shawab