Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com
Diposting oleh BANGKIT 30 Juli 2009

Oleh: CB Gama

Pada tanggal 15 Maret 2007 lalu pernah diselenggarakan bedah buku Koreksi Terhadap Kesalahan Ilmu Kalam dan Filsafat Islam di aula Student Center UIN Syahid Jakarta. Acara bedah buku yang ditulis oleh M. Maghfur Wachid, MA tersebut menghadirkan penulis buku, Prof. Mulyadi Kartanegara, dan Prof. Aziz Fakhrurrazi dari UIN Jakarta. Buku ini mencoba menganalisa pengaruh perdebatan dalam Ilmu Kalam dan Filsafat Islam terhadap kemunduran yang pernah dialami umat Islam di sebagian masa Khilafah ‘Abbasiyah (abad ke 5-10 H).

Apakah ada? Penulis buku menjawab: ya! Alasannya adalah karena perdebatan spekulatif mengenai metafisika seperti dzat-sifat Allah, kejadian-kejadian di akhirat, dan lain sebagainya yang dikaji oleh para ahli kalam dan filsafat Islam telah memalingkan umat Islam dari kegiatan dakwah kepada non-muslim di dunia ketika itu, ke dalam perdebatan yang melelahkan sesama umat Islam yang hanya menghasilkan—sebagaimana dikatakan al-Fakhr ar-Râzi (w. 606 H) : “qîla wa qâla” (katanya begini, katanya begitu), bingung! Padahal misi dakwah universal lah yang diantaranya telah memberikan kekuatan bagi umat Islam sebelumnya untuk dapat bangkit dan berjaya.


Berbicara mengenai spekulasi, sampai saat ini tampaknya masih banyak orang yang “menggemari” ide-ide yang dibangun berdasarkan spekulasi ini, tak terkecuali dalam diskursus keagamaan. Ide transcendent unity of religions (kesatuan transendental agam-agama)-nya Renne Guenon, Fritjof Schuon, dll, yang mengatakan bahwa semua agama memiliki tingkat kebenaran yang sama karena pada hakikatnya semuanya bersatu pada level transendental—di luar jangkauan manusia, dibangun berdasarkan spekulasi. Aksin Wijaya menulis tesis master tentang “Menggugat Wahyu Tuhan” yang menolak autentisitas al-Quran sebagai wahyu Allah yang murni, dengan menganalogikan language yang tidak pernah mampu mewakili parrol dalam komunikasi di dunia manusia kepada komunikasi wahyu dari Allah ke malaikat Jibril lalu ke nabi Muhammad; al-Quran yang berbahasa Arab dipandang tidak mampu mewakili maksud Allah; juga berupa spekulasi.

Kadangkala ada pula mahasiswa yang meragukan Tuhan karena rasionya ingin mendapatkan jawaban pasti seputar kehendak-Nya: “Mengapa Ia menetapkan hanya ada satu agama yang benar, kenapa Ia menciptakan neraka, kenapa Ia tidak langsung saja memperlihatkan diri-Nya sehingga semua orang beriman?”dsb. Semuanya mencoba menggiring akal ke ranah metafisik yang di luar panca indera.


Akal dan Indera

Akal tidak mampu berfungsi secara benar jika dilepaskan dari panca indera. Kalau pun ia dipaksa memikirkan hal yang metafisik, ia hanya akan melakukan spekulasi yang “liar”. Apa bukti bahwa agama-agama bersatu pada level transendental? Apa bukti bahwa al-Quran yang berbahasa Arab telah mereduksi maksud Allah? Mengapa Allah tidak menciptakan makhluk yang baik saja? Spekulasi akal tidak mungkin bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan ini secara pasti. Bagaimana proses pembuahan dalam rahim terjadi? Pertanyaan seperti inilah yang bisa dijawab oleh akal, karena bisa dibuktikan dengan indera. Ketika di masa lalu indera belum bisa menjangkau proses pembuahan, pertanyaan yang sama tidak bisa dijawab oleh akal. Bahkan matematika yang terkategori exact pun akan menjadi tidak pasti ketika tidak diasosiasikan dengan benda fisik. Akal bisa menjawab bahwa 2 + 2 = 4 jika yang dimaksud adalah apel, namun sama sekali tidak bisa memahami makna 6 ketika yang dimaksud adalah 6 hari (Arab: yaum) penciptaan langit dan bumi.

Ini tentu tidak berarti pembenaran terhadap para positivis-empiris modern Barat yang meragukan metafisika dan mendewakan dunia fisik, meragukan Tuhan dan “menuhankan” scientism (menolak segala sesuatu yang tidak saintifik). Poin kita di sini adalah “akal yang tidak bisa lepas dari indera”. Akal bisa saja memahami keberadaan sesuatu di luar panca indera sepanjang masih terkait dengan indera. Akal bisa memahami keberadaan nyawa (Arab: rûh) karena ada fenomena inderawi tentang hidup dan mati. Namun ia sama sekali tidak akan mampu memahami nyawa pada level substansi, karena di luar indera. Dalam konteks inilah al-Quran berkata “wa mâ ûtîtum min al-‘ilmi illâ qalîlâ” (kalian tidak diberi pengetahuan kecuali sedikit saja). Dari sini kita juga jadi bisa memahami mengapa Islam mengajak manusia untuk memikirkan benda-benda fisik (langit, bumi gunung, onta, masusia, dll) saja ketika membuktikan keberadaan Allah; mengapa Syaikhul Islam Ibn Taimiyah (w. 728 H) menegaskan untuk tidak bertanya ‘bagaimana’ (takyîf), memalingkan makna (tahrîf), menolak (ta’thîl), ataupun beranalogi (tamtsîl) dengan dunia fisik, ketika mengkaji dzât dan shifat Allah—yang metafisik, dalam al-Quran dan hadits.

Oleh karena itulah akal tidak boleh dibiarkan melakukan spekulasi-spekulasi tanpa kendali indera. Di Barat, filsafat spekulatif telah dikritik oleh empirisme logis (disebut juga Positivisme Logis, Neo-Empirisme, Filsafat Sains, Induktifisme, dan Saintisme), sebuah aliran filsafat sains yang berkembang sejak 1920-an. Hans Reichenbach dalam Scientific Philosophy berkata: “The history of speculative philosophy is the story of the errors of men.” Di dunia Islam spekulasi-spekulasi para filosof muslim yang bertentangan dengan ‘aqidah Islam pernah dikritik oleh al-Ghazâli (w. 505 H) dalam Tahâfut al-Falâsifah. Spekulasi pereduksian al-Quran terhadap maksud Allah juga tertolak dari sudut pandang ini.

Perdebatan yang membingungkan dalam masalah metafisika seperti: dzat-shifat Allah, kehendak Allah, hakikat malaikat, hakikat kenikmatan syurga, siksa di neraka, dsb sudah seharusnya diakhiri. Masalah metafisik (Arab: ghaib) cukup berhenti pada penjelasan wahyu apa adanya, tanpa tambah atau kurang. Jika akal kita masih juga belum puas dengan penjelasan wahyu (al-Quran dan hadits) tentang masalah yang di luar panca indera, maka sudah seharusnya akal berbesar hati untuk mengakui bahwa baginya ada “limit of truth”.