Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com
Diposting oleh BANGKIT 14 Juli 2009

Oleh: Ahmad Jaelani

“But the problem is that it (Islam) does not just oppose libertinism. Having never had a ‘reformation’, which would have forced it to make an accommodation with modernity, it is fundamentally intolerant and illiberal. As a result, it directly conflicts with western values in areas such as the treatment of women, freedom of speech, the separation of private and public values, and tolerance of homosexuality.
These are all liberal fundamentals and are not negotiable.”

(Melanie Phillips, Spectator, September 2002)

‘Modern’ kata yang sering kita jumpai dimana-mana, baik di buku-buku, film, angkutan umum, di mall bahkan mungkin di ‘warteg’. Kata modern sendiri dalam kamus besar bahasa Indonesia didefinisikan sebagai sesuatu yang terbaru, mutakhir atau sikap dan cara berfikir serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan zaman (Depdiknas, 2001).

Berbeda jika modern disandingkan dengan Islam, hal ini akan menjadi diskusi yang menarik.

Diskusi tentang Islam versus Modernitas telah terdorong ke garis terdepan perdebatan politik di akhir dekade ini. Semenjak peristiwa 11 September, para akademisi, komentator dan pembuat kebijakan semuanya telah termotivasi untuk melakukan kajian terhadap Islam. Namun kesimpulan yang mereka peroleh adalah bahwa Islam tidak mempunyai tempat di dunia (that Islam has no place in the world).

Mereka menyebutkan beberapa fakta, diantaranya adalah usaha gagal yang dilakukan Iran dan Taliban untuk menerapkan Islam membuktikan bahwa Islam tidak bisa diaplikasikan di abad 21. Di sini, terdapat argumentasi melawan Islam yang harus digaris bawahi, yaitu:

“ Islam mempunyai kontradiksi sempurna dengan nilai-nilai Barat yang modern, oleh karena itu Islam tidak punya tempat di dunia saat ini.”

Terlihat dari hasil kajian mereka sikap subyektifitas terhadap arti modern. Yang mana sesuatu dikatakan modern jika sesuai dengan nilai-nilai kebebasan Barat sekular, seperti kebebasan berbicara, pemisahan nilai-nilai public dan privat, kebebasan bertingkah laku hatta sikap toleran terhadap homoseksual. Walaupun demikian, patut disayangkan ternyata banyak masyarakat Islam yang malah mengamini arti kemodernan ini, bahkan menjadi pelaku dari kemodernan versi Barat tersebut. Dimulai dari cara makan sampai bentuk pemerintahan jika tidak sesuai dengan Barat, maka siap-siaplah dicap sebagai masyarakat atau negara yang ketinggalan zaman. Dari sisi ini, Islam memang tidak sesuai dengan kemodernan ‘versi Barat’.

Lalu bagaimana Islam memandang tentang kemodernan ini? Menarik menurut saya mencermati dialog antara Quraish Shihab dengan gurunya Syekh Abdul Halim Mahmud (1910-1978 M) ketika menimba ilmu di Al Azhar Mesir pada tahun 1966 M, dialog ini dimuat dalam sebuah buku berjudul “Logika Agama”. Syekh itu memaparkan tentang kedudukan Islam dalam perkembangan zaman, menurut beliau bahwa “yang paling banyak berubah dalam kehidupan masyarakat manusia adalah hal-hal yang bersifat material bukan sifat-sifat bawaan manusia”, Kemudian beliau melanjutkan bahwa “Islam menyambut baik, mendukung bahkan menganjurkan perubahan material, karena pada prinsipnya setiap perubahan dalam bidang tersebut merupakan penyempurnaan dari apa yang sebelumnya ada. Perubahan-perubahan tersebut adalah dari hasil kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi”.

Dengan demikian, jikalau modern diartikan sebagai sebuah kemutakhiran teknologi, strategi atau yang bersifat teknis (inilah yang menurut saya tepat). Maka Islam memiliki sikap yang proporsional dalam menyikapi perkembangan zaman. Dalam Islam, harus dibedakan antara peradaban dan perkembangan sarana prasarana.

Meminjam istilah an-Nabhani, bahwa hadharah (peradaban) merupakan sekumpulan ide-ide tentang kehidupan yang terkait dengan pandangan hidup (point of view) dan madaniyah (sarana prasarana) adalah bentuk fisik yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, yang sebagian bebas nilai dan sebagian yang lainnya terkait dengan pandangan hidup. Islam menolak segala sesuatu nilai, pandangan atau aturan kehidupan yang tidak berasal dari sumber-sumber hukum Islam. Maka tepat jika Islam menolak nilai-nilai Barat. Namun Islam tidak menolak bahkan mengapresiasi segala perkembangan sarana prasarana yang dikembangkan oleh siapa pun baik dari Barat atau Timur. Disinilah relevansi hadist Nabi Muhammad SAW yang menyatakan;
“ Kamu lebih mengetahui dengan urusan dunia kalian (perkembangan saint dan teknologi)” (HR. Muslim).

Walhasil, sangat tepat sikap Shahabat Umar ibnu Khattab menolak temuan buku-buku karangan orang-orang Romawi yang disodorkan panglimanya Amr bin ’Ash ketika sukses menaklukan Mesir (abad 20 H), karena memandang buku tersebut mengandung nilai-nilai di luar Islam, kemudian beliau menyitir hadits Nabi " Aku tinggalkan untuk kalian dua perkara yang kalian tidak akan pernah tersesat selamanya jika kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu Kitabullah (Al-Qur'an) dan Sunnahku..." (HR: Hakim dari Abu Hurairah, Shahih Al-Jami':2937). Sementara itu, di sisi lain beliau menerima dan menerapkan sistem administrasi kenegaraan dari Persia pada masa kepemimpinannya, karena memandang bahwa itu murni hasil dari temuan ilmu pengetahuan. Jadi Islam selalu dan tetap konsisten dengan nilai-nilainya dan senantiasa menerima segala perkembangan zaman menyangkut saint dan teknologi.

Wallau ’alam bi al showab.