Subscribe to web2feel.com
Subscribe to web2feel.com
Diposting oleh BANGKIT 11 Mei 2010

Pendahuluan

Ketika Amerika Serikat pasca peristiwa 911, membagi blok dunia menjadi blok Amerika dan blok teroris dengan kebijakan George W Bush “Either you are with us or you are with the terorist”. Dengan kebijakan ini, menyebabkan penguasa negeri-negeri muslim mengekor dan membela Amerika. Dari sini tampak nyata ketakutan dan lemahnya umat Islam. Politik luar negeri muslim yang mengekor Negara adidaya menjadi bahan pembelajaran bagaimana mengembalikan politik luar negeri Negara Islam berikut dengan diplomasi-diplomasi mutakhirnya.

Muhammad Musa dalam bukunya “Hegemoni Barat Terhadap Percaturan Politik Dunia” menyebutkan enam unsur yang mempengaruhi kekuatan Negara, bahkan yang membentuknya yaitu: Pandangan hidup (way of life), faktor ekonomi dan teknologi, faktor demografi, kekuatan militer, faktor geografi dan diplomasi. (M. Musa: 2003, h. 14-21).

Berpijak dari sinilah, maka kajian konsep diplomasi dalam Islam menjadi suatu hal yang sangat penting. Dengan keterbatasan yang ada, maka penulis mencoba memaparkan gagasan konsep diplomasi dalam Negara Islam.


Pengertian Diplomasi

Secara etimologi, diplomasi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “diploun” yang berarti “melipat”. Dalam tradisi Romawi, semua paspor yang melewati jalan milik Negara dan surat-surat jalan dicetak pada piringan logam dobel, dilipat, dan dijahit jadi satu dalam cara yang khas. Surat jalan logam ini disebut “diplomas”. Kata ini kemudian berkembang dan mencakup pula dokumen – dokumen resmi yang bukan logam yang terus menumpuk berkaitan dengan perjanjian dengan bangsa di luar Romawi, sehingga dirasa perlu memperkerjakan seseorang yang terlatih untuk mengindeks, menguraikan, dan memeliharanya.

Dalam bahasa Inggris, diplomasi dikenal dengan “diplomacy”, yaitu the management of relations between countries, the art of or skill in dealing with people.(Oxford:1995, h. 325). Tidak diketemukan kata khusus dalam bahasa Arab untuk mendefinisikan kata diplomasi, yang ada adalah kata serapan yaitu yang dalam bahasa Arabnya adalah دبلوماسية, orangnya disebut دبلوماسي (diplomat). (Atabik Ali,Zuhdi: 2003, h. 881). Atau didefinisikan dengan نُظُمُ الاتِّصالِ بَيْنَ الدُّوَل (Sistem hubungan antar negara). (Kamus Prancis-Inggris-Arab: h. 2684).

Sedangkan secara terminologi, Sir Earnest Satow dalam “Guide to Diplomatic Practice” mendefenisikan diplomasi dengan The application of intelligence and tact to conduct of official relation between the government of independent states (penerapan kepandaian dan taktik pada pelaksanaan hubungna resmi antara pemerintah negara-negara berdaulat). Masih menurut Satow, Burke memakai kata “diplomasi” untuk menunjukkan keahlian atau keberhasilan dalam melakukan hubungan internasional dan perundingan di tahun 1796. Ia juga mengatakan “lembaga diplomatik” pada tahun yang sama. Contoh paling awal dari penggunaan kata “jasa diplomatik” yang menunjukkan cabang pelayanan Negara yang menyediakan personil-personil misi tetap di luar negeri dijumpai dalam Annual Register tahun 1737. Sedangkan KM Panikkar dalam “The Principal and Practice of Diplomacy” mendefinisikan diplomasi sebagai seni mengedepankan kepentingan suatu negara dalam hubungannya dengan negara lain. Senada dengan The Hamber’s Twentieth Century Dictionary, diplomasi adalah seni berunding, khususnya tentang perjanjian diantara negara-negara; keahlian politik. Menurut Svarlien telah mendefinisikan diplomasi sebagai seni dan ilmu perwakilan negara dan perundingan. Menurut Ivo D. Duchacek berpendapat diplomasi biasanya didefinisikan sebagai praktek pelaksanaan politik luar negeri suatu negara dengan cara negosiasi dengan negara lain.

Dari beberapa definisi tersebut, maka diplomasi ialah :
  1. Unsur pokok diplomasi adalah negosiasi
  2. Negosiasi dilakukan untuk mengedepankan kepentingan negara.
  3. Tindakan-tindakan diambil untuk menjaga dan memajukan kepentingan nasional sejauh mungkin bisa dilaksanakan dengan sarana damai.
  4. Jika tidak didapat secara damai, maka teknik-teknik diplomasi sering dipakai untuk menyiapkan perang dan bukan untuk menghasilkan perdamaian.
  5. Diplomasi dihubungkan erat dengan tujuan politik luar negeri.
  6. Diplomasi modern dihubungkan erat dengan sistem negara.
  7. Diplomasi tak bisa dipisahkan dari perwakilan negara

Jadi, diplomasi, yang sangat erat dihubungkan dengan hubungan antar negara adalah seni mengedepankan kepentingan suatu negara melalui negosiasi dengan cara-cara damai apabila mungkin dalam berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengijinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.


Diplomasi dalam pandangan Islam

Dalam Daulah Khilafah Islam, politik hubungan internasional disusun berlandaskan pada upaya mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Hal ini tidak terlepas dari salah satu metode (thoriqoh) Islam untuk menjaga dan menyebarkan mabda’ Islam yaitu dakwah dan jihad. Oleh karena itu, aktivitas diplomasi harus menyandarkan kepada aqidah Islam itu sendiri. Allah swt berfirman:

Dan al-Qur’an itu tidak lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat manusia. (TQS. Al – Qolam (68): 52)

Ayat ini adalah ayat Makkiyah, diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud bahwa pada saat ayat ini turun, baru ada enam orang pemeluk agama Islam. Hal ini menunjukkan visi penyebaran Islam ke seluruh umat manusia di dunia.
Begitupun dengan firman Allah swt:

وَمَاأَرْسَلْناَكَ اِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيْرًا وَنَذِيْرًا

Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita dan pemberi peringatan (TQS. Saba’ (34): 28)

قُلْ يَاأَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُوْلُ اللهِ اِلَيْكُمْ جَمِيْعًا

Katakanlah: hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua. (TQS. Al A’raaf (7): 158)

Ayat – ayat di atas tidaklah bermakna bahwa orang – orang yang belum mengetahui kedatangan Islam atau belum mendengar bahwa Allah swt telah mengutus seseorang Rasul, akan mengetahuinya secara otomatis tanpa perlu ada yang menyampaikan kepadanya dan mengajaknya masuk Islam. (Zahid: 2001, h. 44)

Dengan demikian pengertian diplomasi dalam Islam adalah seni mengedepankan kepentingan Dakwah Islam melalui negosiasi dengan cara-cara damai apabila mungkin dalam berhubungan dengan negara lain. Apabila cara-cara damai gagal untuk memperoleh tujuan yang diinginkan, diplomasi mengijinkan penggunaan ancaman atau kekuatan nyata sebagai cara untuk mencapai tujuan-tujuannya.


Diplomasi Pada Masa Rasulullah saw

Setelah Nabi Muhammad dan kaum muslimin berhijrah ke madinah dan mendirikan Negara Islam yang diplokamirkan melalui adzannya Bilal bi Rabbah yang menandakan secara defacto dan dejure keberadaan Negara Islam di kancah perpolitikan dunia. Kemudian, beliau melakukan perkiraan politik dengan menentukan mana kawan dan mana lawan. Pihak lawan yang dimaksud Rasulullah adalah orang – orang Yahudi, orang – orang Musyrik, serta Persia dan Romawi. (Rawas Qal’ahji: 2010, h. 173 – 175) Dari sinilah dimulai diplomasi politik luar negeri dilakukan.

Sebagai contoh, Rasulullah saw pernah saling berkirim surat dengan Yahudi Bani Nadhir.
Surat Bani Nadhir kepada Nabi Muhammad saw: “Kirimkan kepada kami 30 orang laki-laki dari sahabatmu, dan kami akan mengirimkan 30 orang laki-laki, hingga kita bertemu di tempat ini……” hingga akhirnya, tatkala mereka tiba di sebuah tanah lapang, orang – orang Yahudi saling bertanya satu dengan yang lain: “bagaimana kalian bisa membinasakan dirinya, sedangkan ia bersama dengan 30 orang sahabat yang semuanya mencintai kematian?” lalu mereka berencana berkhianat mengirim 60 orang yang dipersenjatai. Kemudian Bani Nadhir mengirim surat lagi: “Keluarkan 30 orang laki-laki dari sahabatmu, maka kami akan mengirimkan 30 orang ‘alim kami kepada engkau, dan mereka akan mendengarkan engkau. Jika mereka beriman, maka kami seluruhnya akan beriman dan membenarkan engkau”. Kemudian Rasulullah mengirim 30 orang sahabatnya. Hingga seorang perempuan Bani Nadhir memberitahukan kepada saudara laki-lakinya yang muslim tentang pengkhianatan Bani Nadhir. Berita ini dirahasiakan hingga sampai kepada Rasulullah saw, kemudian beliau beserta 30 orang sahabatnya kembali ke sentral Negara Islam dan mengirim surat kepada Bani Nadhir: “Sesunggunya kalian tidak akan mendapatkan keamanan dariku, kecuali dengan perjanjian yang kalian buat bersamaku”. Namun, mereka menolak untuk membuat perjanjian. Akhirnya pada hari itu juga Rasulullah dan kaum muslimin memerangi mereka. Esok harinya Rasulullah membuat perjanjian dengan Bani Quraizhah, kemudian kembali ke Bani Nadhir dan memerangi mereka hingga diusir dari perkampungannya. (Hamidullah: 2005, h. 60-61)

Contoh lain adalah ketika perjanjian Hudaibiyah dilaksanakan, dalam proses perjanjian tersebut terjadi saling utus mengutus para diplomatnya, baik dari kalangan Quraisy dan juga dari pihak Rasulullah saw. Beliau sendiri mengutus Utsman bin Affan sebagai diplomat kepada kalangan Quraisy di Mekkah saat itu. Terjadilah negoisasi-negoisasi perdamaian antara Muhammad bin Abdullah dan kaum Musyrik Quraiys (yang diwakili oleh Suhail bin Amru) yang dicatat oleh Ali bin Abi Thalib. Perjanjian ini membawa kemenangan besar terhadap dakwah Negara Islam di Jazirah Arab.

Begitupun dengan Negara adidaya saat itu yaitu Persia dan Romawi, tidak terlepas dari dakwah Islam dengan mengirim para diplomat ulung dan surat dari Rasulullah saw. Berikut salah satu surat kepada Herakius Kaisar Romawi:
Bismillahirrahmanirrahim, dari Muhammad, hamba sekaligus utusan Allah, untuk Heraklius, kaisar Romawi. Salam sejahtera bagi siapa saja yang mengikuti petunjuk. Amma ba’du: sesungguhnya aku mengajakmu dengan seruan Islam. Masuklah ke dalam agama Islam, niscaya engkau akan selamat; dan Allah akan memberimu dua kali lipat. Namun, jika engkau berpaling, engkau akan menanggung dosa kaum Asiriyyin. Wahai ahli kitab, marilah berpegang kepada suatu kalimat yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak pula persekutukan Dia dengan sesuatupun, dan tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka: Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri. (Hamidullah: 2005, h. 90)


Menggagas Diplomasi Negara Islam Modern

Institusi diplomatik sendiri dalam sebuah Negara terdiri dari dua bagian, yaitu pertama departemen pemerintahan yang diberi tugas untuk melakukan politik luar negeri seperti departemen luar negeri. Kedua, delegasi diplomatik di luar negeri yang diwakili oleh kedutaan-kedutaan besar dan yang setingkat dengannya. (M. Musa: 2003, h. 21)

Dalam kitab ajhizah daulah al khilafah, yang megurusi hubungan dengan Negara lain merupakan urusan Departemen Luar Negeri. Departemen ini diangkat oleh Khalifah, selanjutnya khalifah mengontrol departemen tersebut baik oleh khalifahnya sendiri atau melalui wazir at Tanfidz, sesuai dengan ketentuan hukum syariah yang berhubungan dengan masalah itu. Departemen ini akan mengurusi semua perkara dan bentuk hubungan luar negeri, baik berkaitan dengan aspek politik dan turunannya: perjanjian, kesepakatan damai, gencatan senjata, pelaksanaan berbagai perundingan, tukar menukar duta, pengiriman berbagai utusan dan delegasi, serta pendirian berbagai kedutaan dan konsulat. (Hizbut Tahrir: 2006, h. 170-171).

Sedangkan aktivitas para diplomat adalah melaksanakan politik luar negeri dan mengurus hubungan politik, dan bukan mendesainnya. Tugasnya juga adalah memberikan informasi dan pertimbangan kepada pembuat kebijakan politik luar negeri (khalifah) untuk membantu mereka menggariskan kebijakan yang benar. Oleh karena itu, seorang diplomat harus melakukan penetrasi terhadap Negara dimana mereka hidup, serta membangun hubungan erat dengan para pengambil keputusan dan mereka yang menggariskan politik di negeri tersebut, serta dengan para staf yang berpengaruh di dalamnya, sehingga mereka mengetahui apa yang terjadi, mengetahui kepentingan vital serta orientasi politik relasinya. (M. Musa: 2003, h. 21)

Untuk menjalin hubungan diplomasi antar daulah Khilafah dengan Negara lain, perlu dilakukan pengklasifikasian Negara. Hal ini penting, sebagai acuan Daulah Khilafah dalam melakukan hubungan internasional dengan Negara lain.
Islam mengklasifikasikan negara dalam dua kategori, yaitu Darul Islam dan Darul Kufur/ Darul Harb, sebagaimana hadits Nabi Muhammad saw riwayat Sulaiman bin Buraidah:

أُدْعُهُمْ إِلَى اْلإِسْلاَمِ فَإِنْ أَجَابُوْكَ فَأَقْبِلْ مِنْهُمْ وَكُفَّ عَنْهُمْ ثُمَّ أَدْعُهُمْ إِلَى التَّحَوُّلِ مِنْ دَارِهِمْ اِلَى الْمُهَاجِرِيْنَ وَأَخْبَرَهُمْ أَنَّهُمْ اِنْ فَعَلُوْا ذَلِكَ فَلَهُمْ مَالِلْمُهَاجِرِيْنَ وَعَلَيْهِمْ مَا عَلىَ الْمُهَاجِرِيْن

Serulah mereka kepada Islam, apabila mereka menyambutnya, terimalah mereka dan hentikanlah peperangan atas mereka; kemudian ajaklah mereka berpindah dari negeri mereka (darul kufr) ke Darul Muhajirin (darul Islam madinah); dan beritahukanlah pada mereka, bahwa apabila mereka telah melakukan semua itu, maka mereka akan mendapatkan hak yang sama sebagaimana yang didapatkan oleh kaum Muhajirin, dan juga kewajiban yang sama halnya kewajiban Muhajirin (HR. Muslim)

Darul Islam adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dan keamanannya diberlakukan keamanan Islam tanpa memperhatikan apakah penduduknya kaum muslim, ahlu dzimmah atau merupakan campuran keduanya. Sedangkan darul Kufur adalah wilayah atau negeri yang di dalamnya diterapkan sistem kufur dan keamanannya bukan menggunakan keamanan Islam. (Iyad Hilal: 2002,h. 8). Darul kufur sendiri terbagi menjadi tiga:
  • Daulah al mu’ahadah/ ahl al-hudnah, atau ahl ash-shulh yaitu negara yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam
  • Daulah al-kafirah al-harbiyah al-muharibah bi al-fi’li yaitu negara kafir harbi yang benar-benar sedang memerangi umat Islam secara nyata
  • Ad-daulah al-kafirah al-harbiyah ghayru al-muharibah bi al-fi’li yaitu negara kafir harbi yang tidak sedang terlibat perang secara nyata dengan umat Islam. Atau disebut juga dengan Ad-daulah al-kafirah al-harbiyah hukman. (Ibnu Qoyyim al Jauziyah dalam Ahkam ahl adz dzimmah)

Perlu menjadi catatan, Pembagian kategori Negara ini sebatas menunjukkan status Negara dan system pemerintahannya, tidak lantas secara otomatis mempengaruhi status keimanan seseorang. Misalnya seorang muslim yang tinggal di darul kufur tidak lantas dirinya menjadi kufur dan berlaku hukum sebagaimana kepada warga Negara yang secara keimanan bukanlah muslim.

Dalam Islam, ada pengaturan interaksi antar Negara-negara. Dari pengklasifikasian tersebut maka pengaturan diplomasi dengan Negara-negara lain dalam konteks kekinian adalah sebagai berikut:
  • Pertama, negara yang menduduki wilayah Islam, atau negara yang terlibat secara aktif memerangi umat Islam seperti Amerika Serikat, Inggris, Israel, dan India. Hubungan dengan negara-negara ini ditetapkan berdasarkan kebijakan Harbi Fi’lan (perang riil). Tidak boleh ada hubungan diplomatik maupun ekonomi antara Khilafah dengan negara-negara musuh ini. Warga negara mereka tidak diizinkan memasuki wilayah Daulah Khilafah. Meski tengah terjadi gencatan senjata yang bersifat temporer, negara-negara itu tetap diperlakukan sebagai harbi fi’lan. Hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara tersebut tetap tidak dilakukan.
  • Kedua, negara-negara Kafir yang tidak menduduki wilayah Islam, atau tidak sedang memerangi umat Islam, akan tetapi mereka mempunyai niat menduduki wilayah Islam. Khilafah tidak menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Kafir seperti ini. Tapi warga negara-negara tersebut diizinkan memasuki wilayah Daulah Khilafah dengan visa sekali jalan (single entry).
  • Ketiga, negara-negara Kafir selain kedua kategori di atas. Terhadap negara-negara seperti ini, Khilafah diizinkan membuat perjanjian. Sambil terus mengamati skenario politik internasional, Khilafah diperbolehkan menerima atau menolak perjanjian demi kepentingan dakwah Islam. Di samping itu, perjanjian diplomatik dan ekonomi dengan negara-negara Kafir jenis ini harus dilakukan sesuai dengan syariah Islam.

Prinsip diplomasi dalam Islam

Diplomasi negara Islam dengan negara lain akan dilaksanakan dengan beberapa prinsip berikut ini:
1. Berlandaskan kepada aqidah Islam
Hal ini berdasarkan firman Allah swt

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap – tiap umat (untuk menyerukan): sembahlah Allah. (TQS. Al Nahk (16): 36)

2. Berorientasi dalam rangka mengemban dakwah Islam, maka perjanjian apapun akan diarahkan untuk kepentingan penyebaran ideologi Islam.

3. Tidak dilakukan perang dengan Negara lain kecuali sebelumnya sudah disampaikan dakwah Islam

Dalam sebuah hadits, Ibnu Abbas berkata:

مَا قَاتَلَ رَسُوْلُ الله عَلَيْهِ وَسَلَّم قَوْمًا قَط إِلاَّ دَعَاهُمْ

Rasulullah saw tidak pernah sekalipun memerangi suatu kaum, kecuali setelah beliau menyampaikan dakwah kepada mereka

4. Menyerukan Negara kufur untuk memeluk agama Islam sekaligus menerapkan system Islam.

5. Jika menolak untuk memeluk Islam, maka diserukan untuk tunduk kepada system Islam yang dibuktikan dengan membayar jizyah tanpa dipaksa untuk memeluk Islam. Secara de facto dan de jure wilayah ini menjadi bagian dari daulah khilafah, sehingga negara Islam akan menerapkan syari’ah Islam di negeri ini.

6. Jika menolak keduanya maka perang menjadi alternative terakhir dalam kebijakan luar negeri daulah Islam.

“Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah. Perangilah orang yang kufur terhadap Allah. Berperanglah, jangan berkhianat, jangan melanggar janji, jangan memotong bagian tubuh, dan jangan membunuh anak kecil. Jika kamu menemui musuh orang-orang musyrik, maka serulah mereka kepada tiga pekerti (pilihan). Manapun di antara ketiganya yang mereka penuhi, maka terimalah dan berhentilah memerangi mereka. Serulah mereka kepada Islam. Jika mereka memenuhi seruanmu, maka terimalah dan berhentilah memerangi mereka. Lalu serulah mereka untuk berpindah dari tempat tinggal mereka menuju tempat tinggal kaum muhajirin. Dan beritahukanlah kepada mereka bahwa jika mereka melakukan itu, bagi mereka hak yang dimiliki oleh kaum muhajirin dan atas mereka kewajiban yang dimiliki oleh kaum muhajirin. Jika mereka menolak untuk berpindah dari tempat tinggal mereka, maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka menjadi seperti orang-orang muslim Badui; tidak berlaku atas mereka hukum Allah yang berlaku atas kaum mukminin, dan mereka tidak mendapat ghanimah dan fai’ sedikit pun kecuali jika mereka berjihad bersama kaum muslimin. Jika mereka menolak, maka mintalah jizyah dari mereka. Jika mereka memenuhi permintaanmu, maka terimalah dan berhentilah memerangi mereka. Dan jika mereka menolak, maka mintalah bantuan Allah atas mereka dan perangilah mereka.” (Diriwayatkan oleh Ahmad).

Silahkan beri komentar dengan elegan


ShoutMix chat widget